
Kita mengerjakan shalat, maka kita bersuci dan berdiri di hadapan Allah. Kita berdiri di hadapan-Nya dalam keadaan tunduk dan patuh. Kita ruku’, kita sujud, kita membaca bacaan-bacaan shalat, kita bertasbih dan kita berdoa dengan berharap do’a kita akan mendapat pengabulan dari Allah, dengan penuh rasa syukur dan sanjung puji kepada-Nya. Kita berdzikir kepada Allah agar dijauhkan segala keburukan dan kekejian dari diri kita.
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al 'Ankabuut : 45)
Kita juga puasa pada bulan Ramadhan, bahkan juga mengerjakan puasa sunnah, maka kita pun tidak boleh makan dan minum pada siang hari. Kita juga tidak boleh mengerjakan hal-hal yang hina. Dan kita pun bangun malam untuk mengerjakan shalat tahajud di malam hari, membaca Al Qur’an al-Karim dan memperbanyak dalam membacanya, dengan harapan kita mampu mencapai derajat ketaqwaan yang sebenarnya.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah : 183)
Kita menunaikan zakat, bersedekah, mengeluarkan dari harta kita apa-apa yang menjadi bagian orang-orang miskin dan orang-orang yang tidak beruntung, sebagai alat untuk mensucikan harta kita. Kita mengambil sebagian kecil darinya kemudian menyalurkannya kepada tempat-tempat penyalur yang telah ditentukan oleh Allah.
Kita berhaji dan berumrah di Baitul Haram. Kita meninggalkan harta, suami (istri) dan keluarga, bahkan kita meninggalkan segala urusan dunia kita. Kita menikmati ampunan atas segala kesalahan dan dosa pada hari Arafah, lalu kita pun kembali dari haji dan umrah dalam keadaan suci dan disucikan, sebagaimana halnya seorang anak yang baru dilahirkan oleh ibunya.
Demikian itulah ibadah-ibadah yang diwajibkan atas kita. Kita mengerjakannya dengan sesempurna dan sebaik mungkin. Kemudian, kematian pun menghampiri kita, dan kita pun menyambut perjumpaan dengan Allah dengan damai dan tenang. Amal-amal kita akan menjadi saksi atas diri kita.
Tetapi, sesungguhnya di sana ada hal penting yang kita tidak boleh kehilangan darinya!
Diriwayatkan bahwa ada salah seorang hamba Allah mengasingkan diri ke suatu pulau, agar ia tidak terganggu oleh sesuatu pun dalam beribadah kepada Allah dan agar ia bisa konsentrasi dalam ibadah. Maka Allah pun menyediakan untuknya sedikit air yang merembes dari sebuah batu besar. Ia meminum air itu ketika merasa haus. Ia juga menggunakan air itu untuk berwudhu ketika tiba waktu shalat. Adapun makanannya adalah buah-buahan dari pohon delima yang jatuh kepadanya. Setiap hari, satu buah jatuh kepadanya. Pohon delima itu selalu memberinya makan setiap saat atas izin dari Allah. Pohon itu seolah-olah tidak lekang oleh perputaran waktu dan musim.
Hamba Allah itu makan buah-buahan dari pohon delima sampai kenyang. Ia pun mengucapkan puji syukur kepada Allah atas segala nikmat yang ia terima. Kemudian, Allah pun mewafatkannya dalam keadaan suci lagi disucikan. Lembaran-lembaran catatan amalanya putih dan bersih semua. Ketikaia telah berdiri di hadapan Allah ntuk dihisab (dihitung amalnya), Allah pun bertanya kepadanya, “Apa keinginanmu, Aku menghisabmu dengan keadilan-Ku atau dengan kasih sayang-Ku?”
Disinilah ia merasa dirinya hebat. Lalu, ia pun berkata, “Ya Tuhanku, hisablah aku dengan keadilan-Mu.”
Allah kembali mengulang-ulang pertanyaan-Nya kepada hamba Allah itu agar ia mau berpikir ulang, namun jawaban hamba itu tetap sama, ia ingin dihisab dengan keadilan Allah.
Maka mulailah Allah meletakkan timbangan amal (mizan) dan memulai hisab. Kenikmatan-kenikmatan Allah diletakkan di salah satu mata timbangan, sementara amal-amal sang hamba diletakkan di mata timbangan yang satunya lagi.
Akhirnya terlihatlah betapa kenikmatan-kenikmatan Allah atas diri sang hamba lebih berat, “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim : 34) Sementara amal-amalnya tampak ringan dan kurang mencukupi.
Melihat kenyataan itu, sang hamba yang zuhud itu pun berkata, “Ya Tuhanku, hisablah aku dengan timbangan kasih sayang-Mu, jangan dengan keadilan-Mu, wahai Dzat yang paling pengasih.”
Kasih sayang Allah dalam kehidupan dunia ini adalah berupa anugerah-anugerah duniawi yang tiada henti Allah curahkan kepada semua makhluk-Nya.
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl : 96)
Sementara kasih sayang Allah dalam kehidupan akhirat nanti adalah khusus untuk orang-orang yang bertaqwa dan selalu berbuat kebajikan, yaitu orang-orang yang senantiasa berprasangka baik kepada Allah. Mereka selalu optimis dengan kebaikan, kemurahan, maaf dan ampunan Allah.
(Refrensi : “30 Amalan Shalihan Tudkhiluka Al-Jannah wa Tunjika min An-Nar”, Muhammad Ali Quthb)
Ya Allah..kami memohon kepada-Mu, janganlah amal-amal kami menjadikan kami tertipu, jauhkan kami dari syubhat yang tak terdeteksi dan tak diketahui, jadikan shalat, puasa, haji, zakat dan amal kami semata-mata pada kasih sayang-Mu, Wahai Dzat yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aamiin.

Dalam naungan Cinta dan Kasih Sayang-Nya.
Hendaklah kasih sayang senantiasa bersemayam dalam pikiran dan hati kita yang terdalam.

0 komentar:
Posting Komentar